AHLUSSUNNAH WAL-JAMA’AH
(Materi
Mapaba Rayon Al-ghazaly Kom IAIN Mataram)
Oleh:
Burex Al-ghazaly
Email:
baharudin617@gmail.com
No
Hp: 081999801080
A. Latar belakang
Sebagaimana
yang telah diprekdisikan oleh nabi Muhammad SAW bahwa umatnya akan terpecah
menjadi 73 golongan, dan 1 golongan diantaranya akan selamat. Sedangkan 72 yang
lainnya akan binasa. Ketika Beliau ditanya oleh para sahabat, “siapakah mereka
yang akan selamat”? Rasulullah SAW menjawab, ”mereka adalah orang-orang yang
mengikuti ajaranku dan ajaran para sahabatku”.
Munculnya
kelompok seperti; Syiah, Khawarij dan Murji’ah pada awalnya adalah hasil dari perbedaan pendapat mengenai
kepemimpinan umat islam di kala itu. Namun seiring dengan perkembangan zaman,
masalah demikian menjadi problem yang rumit mencakup aqidah dan hokum.
Sementara
di tanah air (Indonesia) terdapat bermacam-macam aliran dan paham. Disebutkan
ada yang berbau agama dan ada pula yang berbau pemikiran. Misalnya; ada Aliran
Isa Bugis yang menganggap umat islam sekarang masih dalam periode Makkah
(jahiliyah). Selain itu, ada juga paham ikrar sunah yang tidak mengakui hadits
nabi.dll.
Dalam
menyikapi hal di atas diperlukan sikap kita selaku mahasiswa genrasi islam Indonesia
harus kritis dan objektif dalam memandang suatu aliran atau paham tertentu, terutama
yang sudah sering disoroti sebagai aliran dan paham yang sesat, sebab tidaklah
mungkin ada sebab-sebab atau maksud tersembunyi dibalik eksistensi suatu
paham atau aliran tersebut. Selanjutnya aliran-aliaran ini muncul kadangkala karena
motivasi duniawi yang ingin mengejar kekayaan harta benda, factor ambisi
kekuasaan, sensasi agar terkenal. Di sisi lain bias saja bertujuan memecah belah
umat islam yang ada, atau bias saja kelompok ini dibayar oleh orang-orang kafir
untuk menghancurkan islam atau yang lainnya.
B. Definisi Ahlussunnah Wal-Jama’ah
Ahlussunah
waljamaah berasal dari bahasa arab Ahlussunnah Wal-Jama’ah, atau lebih
sering disingkat dengan Ahlussunah. Secara terminology, maka Ahlussunnah
Waljamaah berarti ajaran islam yang murni sebagaimana yang diajarkan dan
diamalkan oleh Rasulullah SAW, bersama para sahabatnya. Pengertian ini mengacu
pada hadits nabi yang terkenal: ”Hal mana nabi memprekdisikan bahwa suatu saat
kelak ummat islam akan terpecah dalam 73 golongan,semua celaka kecuali satu
firqah, yaitu mereka berpegang teguh pada pegangan beliau dan pegangan para
sahabat-sahabatnya.”Dalam hadits lain yang senada, golongan yang selamat ini di
sebut sebagai Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Selain
itu, Ahlussunnah
Wal-Jama’ah (ASWAJA) lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan
sejarah. Di wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam mengenai status Alqur’an
apakah ia mahluk atau bukan, kemudian debat antara sifat-sifat Allah antara
ulama’ salafiyyun dengan golongan Mu’tazilah dan seterusnya.
Di wilayah sejarah, proses
pembentukan ASWAJA terentang hingga zaman Khulafaur Rasyidin, yakni dimulai sejak terjadi perang shiffin yang
melibatkan Kholifah Ali bin Abi Tholib KW dengan Muawiyyah. Bersamaan dengan kekalahan kholifah ke-empat tersebut,
setelah dikelabui melalui taktik arbitrase (tahkim) oleh kubu muawiyyah, ummat
islam mulailah
islam
terpecah ke
dalam
berbagai golongan. Di
antara
mereka terdapat Syi’ah, Khowarij, Jabariyyah, Qadariyyah, Mu’tazilah, dll.
Indonesia merupakan salah
satu penduduk dengan jumlah penganut faham ASWAJA terbesar di dunia. Mayoritas
penduduk yang
memeluk
islam adalah penganut madzhab
Syafi’i dan sebagian besarnya
tergabung (baik tergabung secara sadar maupun tidak sadar) dalam Jam’iyyah Nahdlotul
Ulama’ yang sejak awal berdiri menegaskan sebagi pengamal islam ala Ahlusunnah
wal Jama’ah.
Al-sunnah memilki arti
jalan, disamping memiliki arti Al-Hadist. Disambungkan dengan ahl keduanya
bermakna pengikut jalan Nabi, Para Sahabat, dan Tabi’in. Al-Jama’ah berarti sekumpulan orang yang
memiliki tujuan. Bila dimaknai secara kebahasaan, Ahlussunnah wal Jama’ah
berarti segolongan orang yang mengikuti jalan Nabi, Para Sahabat dan Tabi’in.
NU merupakan ORMAS islam
pertama kali Indonesia yang menegaskan
diri berfaham ASWAJA, kemudian memiliki banyak banom didalamnya sekalugus
keberadaan PMII sebagai generasi kini telah mampu mempertahankan ASWAJA di
tanah air. Dalam konstitusi dasar yang dirumuskan
oleh KH. Hasyim Asy’ari
juga
tidak disebutkan definisi ASWAJA namun tertulis dalam konstitusi tersebut bahwa
aswaja merupakan sebuah faham keagamaan, dimana dalam bidang aqidah menganut
pendapat dari Abu Hasan Al-Asy’ari dan Al- Maturidhi, dalam bidang fiqih
menganut pada salah satu madzhab
empat, dan dalam bidang tasawuf
menganut pada Imam Junaid al Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghozali.
Seiring
dengan hal di atas, maka Aswaja sebagai Manhaj Al-fikr, tercacat kurang lebih sejak 1995/1997, Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia meletakkan aswaja sebagai manhaj al fikr. Th 1997 diterbitkan
sebuah buku saku tulisan sahabat Khotibul Umam Wiranu berjudul Membaca ulang
Aswaja (PB PMII 1997). Konsep dasar yang dibawa dalam aswaja sebagai manhaj
al fikr tidak dapat dilepas dari gagasan KH. Said Aqil Siraj yang mengundang
kontroversi, mengenai perlunya aswaja ditafsir ulang dengan memberikan
kebebasan lebih bagi para intelektual dan ulama’ untuk merujuk langsung kepada
ulama’ dan pemikir utama yang tesebut dalam pengertian aswaja.
PMII memandang bahwa aswaja
adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua
aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan,
dan toleran. Aswaja bukan sebuah madzhab melainkan sebuah metode dan prinsip
berfikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial
kemasyarakatan, inilah makna aswaja sebagai manhaj al fikr.
Sebagai manhaj alfikr, PMII berpegang pada prinsip-prinsip
tawasuth (moderat), tawazun (netral), ta’adul (keseimbangan), dan tasamuh
(toleran).
Oleh karena itu, sebagaimana penjelasan di bawah ini;
·
Manhajul fikr yaitu sebagai sebuah
metode berpikir yang digariskan oleh para sahabat Nabi dan tabi’in yang begitu
erat kaitannya dengan situasi politik dan kondisi sosial yang meliputi
masyarakat muslim waktu itu. Baik cara mereka menyikapi berbagai kemelut
perbedaan antar keyakinan atau dalam memahami keruhnya konstelasi politik,
yang kesemua itu berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan yang terselubung
dalam makna ASWAJA. Dari manhajul fikr ini kemudian lahir
pemikiran-pemikiran keislaman baik di bidang aqidah, syari’ah, maupun
akhlaq/tasawuf, yang binneka tunggal ika dalam ruh yang sama.
·
Manhaj taghayyur
al-ijtima’i yaitu sebuah pola
perubahan sosial-kemasyarakatan yang sesuai dengan ruh perjuangan rasulullah
dan para sahabatnya. Untuk memahami pola perubahan ini dibutuhkan pemahaman
akan perjalanan sejarah kebudayaan islam yang nantinya terurai dalam
materi pendalaman tentang ASWAJA.
Dari pemahaman diatas, pada pokoknya pemahaman Aswaja
baik sebagai metode berpikir (manhajul fikr) maupun pola perubahan
sosial (manhaj taghayyur al-ijtima’i) adalah sesuai dengan sabda Rasulullah
yang mengatakan bahwa: ma ana ‘alaihi wa ashabi (segala
sesuatu yang datang dari rasul dan para sahabatnya) yaitu metode berpikir dan
pola perubahan sosial yang diusung, yang sebenarnya berlandaskan pada beberapa
nilai berikut : moderat (tawassuth), toleran (tasamuh), keseimbangan
(tawazun), dan keadilan (ta’adul )
C. Nilai-Nilai Aswaja
ü
Nilai Kemoderatan
(Tawassuth)
Khairul umur awsathuha (moderat adalah sebaik-baik perbuatan). Tawassuth bisa dimaknai
sebagai berdiri di tengah, moderat, tidak ekstrim, tetapi memiliki sikap dan
pendirian yang teguh dalam menghadapi posisi dilematis antara yang liberal dan
konserfatif, kanan dan kiri, Jabariyah dan Qadariah, dengan mempertimbangkan
kemaslahatan umat dalam garis-garis tuntunan Al-quran dan As-sunnah . Maka
kurang benar jika PMII dikenal terlalu liberal dalam pemikiran, karena
bertentangan dengan nilai-nilai tawassuth yang menjadi jantung pijakan dari
PMII itu sendiri. Tetapi PMII lebih dialektis, lebih terbuka dalam pola
berpikir, tidak terjebak dalam pemahaman fanatik yang berbuah pada sebuah
kebenaran yang arbitrer (benar menurut diri sendiri).
Bersikap tawassuth dalam bidang aqidah adalah di satu
sisi tidak terjebak dalam rasionalitas buta dan terlalu liberal (sehingga
menomorduakan al-quran dan sunnah rasul), di sisi lain tetap menempatkan akal
untuk berfikir dan menafsirkan al-quran dan al-sunnah yang sesuai dengan
kondisi.
Fiqih atau hukum Islam yang tawassuth adalah
seperangkat konsep hukum yang di dasarkan kepada Al-quran dan hadits, namun
pemahamannya tidak sekadar bersandar kepada tradisi,juga tidak kepada
rasionalitas akal belaka.
Tasawuf yang tawassuth adalah spiritualitas ketuhanan
yang menolak konsep pencapaian haqiqah (hakikat Tuhan) dengan meninggalkan
syari’ah ataupun sebaliknya. Tasawuf yang tawassuth menjadikan taqwa (syari’ah)
sebagai jalan utama menuju haqiqah.
ü Nilai Toleransi (Tasamuh)
Tasamuh adalah toleran, adalah sebuah pola
sikap yang menghargai perbedaan, tidak memaksakan kehendak dan
merasa benar sendiri. Nilai yang mengatur bagaimana kita harus bersikap dalam
hidup sehari-hari, khususnya dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Biarkan
semuanya partikular, tidak harus seragam dengan kita. Arah dari nilai toleransi
ini adalah kesadaran akan pluralisme atau keragaman, baik itu dalam beragama,
budaya, keyakinan, dan setiap dimensi kehidupan yang harusnya saling
berkomplementer (saling melengkapi). Sebagaimana konsep Binneka Tunggal Ika (berbeda-beda
tapi tetap satu) dan ayat Al-Quran yang berbunyi “Lakum
Dinukum Wal-Yadin” (bagimu agamamu, bagiku agamaku) yang dengan
perbedaan ini kita mendapat rahmat, hidup kita lebih variatif.
Dalam arus filsafat yang saat ini berkembang, saatnya
menyapu (sweeping) dan meruntuhkan metafisika kehadiran (konsep tunggal yang
kebenarannya adalah satu). Sebuah konsep yang memaksakan kebenarannya
terhadap yang lain, tanpa menerima perbedaan dan menolak akan kebenaran yang
lain.
ü Nilai Keseimbangan (Tawazun)
Tawazun berarti keseimbangan dalam pola
hubungan atau relasi, baik yang
bersifat antar individu, antar struktur sosial, antara Negara dan rakyatnya,
maupun antara manusia dan alam. Keseimbangan di sini adalah bentuk hubungan
yang tidak berat sebelah (menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak yang
lain). Tetapi, masing-masing pihak mampu menempatkan dirinya sesuai dengan
fungsinya tanpa mengganggu fungsi dari pihak yang lain. Hasil yang diharapkan
adalah terciptanya kedinamisan hidup.
Dalam ranah sosial yang ditekankan adalah
egalitarianisme (persamaan derajat) seluruh umat manusia. Tidak ada yang merasa
lebih dari yang lain, yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaannya. Tidak ada
dominasi dan eksploitasi seseorang kepada orang lain, termasuk laki-laki
terhadap perempuan.
Dalam wilayah politik, tawazun meniscayakan
keseimbangan antara posisi Negara (penguasa) dan rakyat. Penguasa tidak boleh
bertindak sewenang-wenang, menutup kran demokrasi, dan menindas rakyatnya.
Sedangkan rakyat harus selalu mematuhi segala peraturan yang ditujukan untuk
kepentingan bersama, tetapi juga senantiasa mengontrol dan mengawasi jalannya
pemerintahan.
Dalam wilayah ekonomi, tawazun meniscayakan pembangunan
sistem ekonomi yang seimbang antara posisi Negara, pasar dan masyarakat. Fungsi
Negara adalah sebagai pengatur sirkulasi keuangan, perputaran modal, pembuat
rambu-rambu atau aturan main bersama dan mengontrol pelaksanaannya. Tugas pasar
adalah tempat pendistribusian produk yang memposisikan konsumen dan produsen
secara seimbang, tanpa ada satu pihak pun yang ditindas. Fungsi masyarakat
(khususnya konsumen) di satu sisi adalah menciptakan lingkungan ekonomi yang
kondusif, yang di dalamnya tidak ada monopoli; dan di sisi lain mengontrol
kerja negara dan pasar.
ü Nilai Keadilan (Ta’adul)
Yang dimaksud dengan ta’adul adalah keadilan, ia merupakan pola
integral dari tawassuth, tasamuh, dan tawazun. Dengan adanya
keseimbangan, toleran, dan moderat maka akan mengarah pada sebuah nilai
keadilan, sekaligus merupakan ajaran universal dari Aswaja. Setiap pemikiran,
sikap dan relasi, harus selalu diselaraskan dengan nilai ini. Pemaknaan
keadilan yang dimaksud di sini adalah keadilan social, yaitu; nilai kebenaran yang
mengatur totalitas kehidupan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan
sebagainya.
Sejarah membuktikan bagaimana Nabi Muhammad SAW mampu
mewujudkannya dalam masyarakat Madinah. Bagitu juga Umar bin Khattab RA yang
telah meletakkan fundamen bagi peradaban Islam yang agung. Sebenarnya ke-Empat nilai
inilah yang menjadi metode berpikir dan pola perubahan sosial dari Nabi
dan para sahabatnya.
D.
.PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami susun yang mengacu pada buku-buku
yang kami baca, ke-NU-an, dan Ahlussunnah Waljamaah Sebuah
Identifikasi. Jika ada kesalahan pada penulisan kami mohon maaf dan semoga
dengan makalah ini, semoga bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar