Home » » AHLUSSUNNAH WAL-JAMA’AH (Materi Mapaba Rayon Al-ghazaly Kom IAIN Mataram)

AHLUSSUNNAH WAL-JAMA’AH (Materi Mapaba Rayon Al-ghazaly Kom IAIN Mataram)

Written By Unknown on Senin, 15 September 2014 | 22.31



AHLUSSUNNAH WAL-JAMA’AH
(Materi Mapaba Rayon Al-ghazaly Kom IAIN Mataram)
Oleh: Burex Al-ghazaly
No Hp: 081999801080
A.     Latar belakang
Sebagaimana yang telah diprekdisikan oleh nabi Muhammad SAW bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 golongan, dan 1 golongan diantaranya akan selamat. Sedangkan 72 yang lainnya akan binasa. Ketika Beliau ditanya oleh para sahabat, “siapakah mereka yang akan selamat”? Rasulullah SAW menjawab, ”mereka adalah orang-orang yang mengikuti  ajaranku dan ajaran para sahabatku”.
Munculnya kelompok seperti; Syiah, Khawarij dan Murji’ah pada awalnya adalah hasil dari perbedaan pendapat mengenai kepemimpinan umat islam di kala itu. Namun seiring dengan perkembangan zaman, masalah demikian menjadi problem yang rumit mencakup aqidah dan hokum.
Sementara di tanah air (Indonesia) terdapat bermacam-macam aliran dan paham. Disebutkan ada yang berbau agama dan ada pula yang berbau pemikiran. Misalnya; ada Aliran Isa Bugis yang menganggap umat islam sekarang masih dalam periode Makkah (jahiliyah). Selain itu, ada juga paham ikrar sunah yang tidak mengakui hadits nabi.dll.

Dalam menyikapi hal di atas diperlukan sikap kita selaku mahasiswa genrasi islam Indonesia harus kritis dan objektif dalam memandang suatu aliran atau paham tertentu, terutama yang sudah sering disoroti sebagai aliran dan paham yang sesat, sebab tidaklah mungkin ada sebab-sebab atau maksud tersembunyi  dibalik eksistensi suatu paham atau aliran tersebut. Selanjutnya aliran-aliaran ini muncul kadangkala karena motivasi duniawi yang ingin mengejar kekayaan harta benda, factor ambisi kekuasaan, sensasi agar terkenal. Di sisi lain bias saja bertujuan memecah belah umat islam yang ada, atau bias saja kelompok ini dibayar oleh orang-orang kafir untuk menghancurkan islam atau yang lainnya.
B. Definisi Ahlussunnah Wal-Jama’ah
Ahlussunah waljamaah berasal dari bahasa arab Ahlussunnah Wal-Jama’ah, atau lebih sering disingkat dengan Ahlussunah. Secara terminology, maka Ahlussunnah Waljamaah berarti ajaran islam yang murni sebagaimana yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW, bersama para sahabatnya. Pengertian ini mengacu pada hadits nabi yang terkenal: ”Hal mana nabi memprekdisikan bahwa suatu saat kelak ummat islam akan terpecah dalam 73 golongan,semua celaka kecuali satu firqah, yaitu mereka berpegang teguh pada pegangan beliau dan pegangan para sahabat-sahabatnya.”Dalam hadits lain yang senada, golongan yang selamat ini di sebut sebagai Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Selain itu, Ahlussunnah Wal-Jama’ah (ASWAJA) lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan sejarah. Di wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam mengenai status Alqur’an apakah ia mahluk atau bukan, kemudian debat antara sifat-sifat Allah antara ulama’ salafiyyun dengan golongan Mu’tazilah dan seterusnya.
Di wilayah sejarah, proses pembentukan ASWAJA terentang hingga zaman Khulafaur Rasyidin, yakni dimulai sejak terjadi perang shiffin yang melibatkan Kholifah Ali bin Abi Tholib KW dengan Muawiyyah. Bersamaan dengan kekalahan kholifah ke-empat tersebut, setelah dikelabui melalui taktik arbitrase (tahkim) oleh kubu muawiyyah, ummat islam mulailah islam terpecah ke dalam berbagai golongan. Di antara mereka terdapat Syi’ah, Khowarij, Jabariyyah, Qadariyyah, Mu’tazilah, dll.
Indonesia merupakan salah satu penduduk dengan jumlah penganut faham ASWAJA terbesar di dunia. Mayoritas penduduk yang memeluk islam adalah penganut madzhab Syafi’i dan sebagian besarnya tergabung (baik tergabung secara sadar maupun tidak sadar) dalam Jamiyyah Nahdlotul Ulama’ yang sejak awal berdiri menegaskan sebagi pengamal islam ala Ahlusunnah wal Jama’ah.
Al-sunnah memilki arti jalan, disamping memiliki arti Al-Hadist. Disambungkan dengan ahl keduanya bermakna pengikut jalan Nabi, Para Sahabat, dan Tabi’in. Al-Jama’ah berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Bila dimaknai secara kebahasaan, Ahlussunnah wal Jama’ah berarti segolongan orang yang mengikuti jalan Nabi, Para Sahabat dan Tabi’in.
NU merupakan ORMAS islam pertama kali Indonesia yang menegaskan diri berfaham ASWAJA, kemudian memiliki banyak banom didalamnya sekalugus keberadaan PMII sebagai generasi kini telah mampu mempertahankan ASWAJA di tanah air. Dalam konstitusi dasar yang dirumuskan oleh KH. Hasyim Asy’ari juga tidak disebutkan definisi ASWAJA namun tertulis dalam konstitusi tersebut bahwa aswaja merupakan sebuah faham keagamaan, dimana dalam bidang aqidah menganut pendapat dari Abu Hasan Al-Asy’ari dan Al- Maturidhi, dalam bidang fiqih menganut pada salah satu madzhab empat, dan dalam bidang tasawuf menganut pada Imam Junaid al Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghozali.
Seiring dengan hal di atas, maka Aswaja sebagai Manhaj Al-fikr, tercacat kurang lebih sejak 1995/1997, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia meletakkan aswaja sebagai manhaj al fikr. Th 1997 diterbitkan sebuah buku saku tulisan sahabat Khotibul Umam Wiranu berjudul Membaca ulang Aswaja (PB PMII 1997). Konsep dasar yang dibawa dalam aswaja sebagai manhaj al fikr tidak dapat dilepas dari gagasan KH. Said Aqil Siraj yang mengundang kontroversi, mengenai perlunya aswaja ditafsir ulang dengan memberikan kebebasan lebih bagi para intelektual dan ulama’ untuk merujuk langsung kepada ulama’ dan pemikir utama yang tesebut dalam pengertian aswaja.
PMII memandang bahwa aswaja adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleran. Aswaja bukan sebuah madzhab melainkan sebuah metode dan prinsip berfikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial kemasyarakatan, inilah makna aswaja sebagai manhaj al fikr.
Sebagai manhaj alfikr, PMII berpegang pada prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tawazun (netral), ta’adul (keseimbangan), dan tasamuh (toleran).
Oleh karena itu, sebagaimana penjelasan di bawah ini;
·         Manhajul fikr yaitu sebagai sebuah metode berpikir yang digariskan oleh para sahabat Nabi dan tabi’in yang begitu erat kaitannya dengan situasi politik dan kondisi sosial yang meliputi masyarakat muslim waktu itu. Baik cara mereka menyikapi berbagai kemelut perbedaan antar keyakinan atau dalam memahami keruhnya konstelasi politik, yang kesemua itu berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan yang terselubung dalam makna ASWAJA. Dari manhajul fikr ini kemudian lahir pemikiran-pemikiran keislaman baik di bidang aqidah, syari’ah, maupun akhlaq/tasawuf, yang binneka tunggal ika dalam ruh yang sama.
·         Manhaj taghayyur al-ijtima’i yaitu sebuah pola perubahan sosial-kemasyarakatan yang sesuai dengan ruh perjuangan rasulullah dan para sahabatnya. Untuk memahami pola perubahan ini dibutuhkan pemahaman akan perjalanan sejarah kebudayaan islam yang nantinya terurai dalam materi pendalaman tentang ASWAJA.
Dari pemahaman diatas, pada pokoknya pemahaman Aswaja baik sebagai metode berpikir (manhajul fikr) maupun pola perubahan sosial (manhaj taghayyur al-ijtima’i) adalah sesuai dengan sabda Rasulullah yang mengatakan bahwa: ma ana ‘alaihi wa ashabi (segala sesuatu yang datang dari rasul dan para sahabatnya) yaitu metode berpikir dan pola perubahan sosial yang diusung, yang sebenarnya berlandaskan pada beberapa nilai berikut : moderat (tawassuth), toleran (tasamuh), keseimbangan (tawazun)dan keadilan (ta’adul )
C.      Nilai-Nilai Aswaja
ü  Nilai Kemoderatan (Tawassuth)
Khairul umur awsathuha (moderat adalah sebaik-baik perbuatan). Tawassuth bisa dimaknai sebagai berdiri di tengah, moderat, tidak ekstrim, tetapi memiliki sikap dan pendirian yang teguh dalam menghadapi posisi dilematis antara yang liberal dan konserfatif, kanan dan kiri, Jabariyah dan Qadariah, dengan mempertimbangkan kemaslahatan umat dalam garis-garis tuntunan Al-quran dan As-sunnah . Maka kurang benar jika PMII dikenal terlalu liberal dalam pemikiran, karena bertentangan dengan nilai-nilai tawassuth yang menjadi jantung pijakan dari PMII itu sendiri. Tetapi PMII lebih dialektis, lebih terbuka dalam pola berpikir, tidak terjebak dalam pemahaman fanatik yang berbuah pada sebuah kebenaran yang arbitrer (benar menurut diri sendiri).
Bersikap tawassuth dalam bidang aqidah adalah di satu sisi tidak terjebak dalam rasionalitas buta dan terlalu liberal (sehingga menomorduakan al-quran dan sunnah rasul), di sisi lain tetap menempatkan akal untuk berfikir dan menafsirkan al-quran dan al-sunnah yang sesuai dengan kondisi.
Fiqih atau hukum Islam yang tawassuth adalah seperangkat konsep hukum yang di dasarkan kepada Al-quran dan hadits, namun pemahamannya tidak sekadar bersandar kepada tradisi,juga tidak kepada rasionalitas akal belaka.
Tasawuf yang tawassuth adalah spiritualitas ketuhanan yang menolak konsep pencapaian haqiqah (hakikat Tuhan) dengan meninggalkan syari’ah ataupun sebaliknya. Tasawuf yang tawassuth menjadikan taqwa (syari’ah) sebagai jalan utama menuju haqiqah.
ü  Nilai Toleransi (Tasamuh)
Tasamuh adalah toleran, adalah sebuah pola sikap yang menghargai perbedaan, tidak memaksakan kehendak dan merasa benar sendiri. Nilai yang mengatur bagaimana kita harus bersikap dalam hidup sehari-hari, khususnya dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Biarkan semuanya partikular, tidak harus seragam dengan kita. Arah dari nilai toleransi ini adalah kesadaran akan pluralisme atau keragaman, baik itu dalam beragama, budaya, keyakinan, dan setiap dimensi kehidupan yang harusnya saling berkomplementer (saling melengkapi). Sebagaimana konsep Binneka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi tetap satu) dan ayat Al-Quran yang berbunyi Lakum Dinukum Wal-Yadin(bagimu agamamu, bagiku agamaku) yang dengan perbedaan ini kita mendapat rahmat, hidup kita lebih variatif.
Dalam arus filsafat yang saat ini berkembang, saatnya menyapu (sweeping) dan meruntuhkan metafisika kehadiran (konsep tunggal yang kebenarannya adalah satu). Sebuah konsep yang memaksakan kebenarannya terhadap yang lain, tanpa menerima perbedaan dan menolak akan kebenaran yang lain.
ü  Nilai Keseimbangan (Tawazun)
Tawazun berarti keseimbangan dalam pola hubungan atau relasi, baik yang bersifat antar individu, antar struktur sosial, antara Negara dan rakyatnya, maupun antara manusia dan alam. Keseimbangan di sini adalah bentuk hubungan yang tidak berat sebelah (menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak yang lain). Tetapi, masing-masing pihak mampu menempatkan dirinya sesuai dengan fungsinya tanpa mengganggu fungsi dari pihak yang lain. Hasil yang diharapkan adalah terciptanya kedinamisan hidup.
Dalam ranah sosial yang ditekankan adalah egalitarianisme (persamaan derajat) seluruh umat manusia. Tidak ada yang merasa lebih dari yang lain, yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaannya. Tidak ada dominasi dan eksploitasi seseorang kepada orang lain, termasuk laki-laki terhadap perempuan.
Dalam wilayah politik, tawazun meniscayakan keseimbangan antara posisi Negara (penguasa) dan rakyat. Penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang, menutup kran demokrasi, dan menindas rakyatnya. Sedangkan rakyat harus selalu mematuhi segala peraturan yang ditujukan untuk kepentingan bersama, tetapi juga senantiasa mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan.
Dalam wilayah ekonomi, tawazun meniscayakan pembangunan sistem ekonomi yang seimbang antara posisi Negara, pasar dan masyarakat. Fungsi Negara adalah sebagai pengatur sirkulasi keuangan, perputaran modal, pembuat rambu-rambu atau aturan main bersama dan mengontrol pelaksanaannya. Tugas pasar adalah tempat pendistribusian produk yang memposisikan konsumen dan produsen secara seimbang, tanpa ada satu pihak pun yang ditindas. Fungsi masyarakat (khususnya konsumen) di satu sisi adalah menciptakan lingkungan ekonomi yang kondusif, yang di dalamnya tidak ada monopoli; dan di sisi lain mengontrol kerja negara dan pasar.
ü  Nilai Keadilan (Ta’adul)
Yang dimaksud dengan ta’adul adalah keadilan, ia merupakan pola integral dari tawassuth, tasamuh, dan tawazun. Dengan adanya keseimbangan, toleran, dan moderat maka akan mengarah pada sebuah nilai keadilan, sekaligus merupakan ajaran universal dari Aswaja. Setiap pemikiran, sikap dan relasi, harus selalu diselaraskan dengan nilai ini. Pemaknaan keadilan yang dimaksud di sini adalah keadilan social, yaitu; nilai kebenaran yang mengatur totalitas kehidupan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan sebagainya.
Sejarah membuktikan bagaimana Nabi Muhammad SAW mampu mewujudkannya dalam masyarakat Madinah. Bagitu juga Umar bin Khattab RA yang telah meletakkan fundamen bagi peradaban Islam yang agung. Sebenarnya ke-Empat nilai inilah yang menjadi metode berpikir dan pola perubahan sosial dari Nabi dan para sahabatnya.
D.     .PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami susun yang mengacu pada buku-buku yang kami baca, ke-NU-an, dan Ahlussunnah Waljamaah Sebuah Identifikasi. Jika ada kesalahan pada penulisan kami mohon maaf dan semoga dengan makalah ini, semoga bermanfaat.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

KAMPUNG MEDIA

KAMPUNG MEDIA
Jurnalisme Warga

Popular Posts



 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Burex Institute - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger